“Pesan Diwe Khayangan Tinggi :'Antak kah lemak nanggung kudai, empuk dik kah ngiluk’i, jangan merusak jadilah' ”.
PERINGATAN
yang ditulis dalam bahasa Besemah di atas sebuah papan berukuran
sekitar 1 meter x 2 meter itu, berdiri kokoh persis di jalan masuk depan
deretan rumah tua di Desa Pelang Kenidai, Kecamatan Dempo Tengah, di
pinggiran Kota Pagar Alam, Provinsi Sumatera Selatan.
Dalam
bahasa sehari-hari, pesan tadi kira-kira bisa diartikan begini: “Pesan
dewa di kayangan tinggi, mau enak susah susah dulu. Kalau tidak bisa
memperbaiki, jangan merusak jadilah”. Di bawah pesan yang tulisannya
sangat mencolok itu, tertulis sebuah nama, Haji Umar.
“Itu,
pesan bernada imbauan dengan bahasa yang amat halus. Hakekatnya adalah,
dewa di kayangan di atas sana, berpesan kalau seseorang mau enak ya
harus bersusah payah dulu. Kalau tidak bisa memperbaiki, jangan merusak
jadilah. Dalam konteks ini, pesan dan imbauan yang ditulis Haji Umar,
sesepuh Desa Pelang Kenidai tersebut, lebih kepada mengingatkan
masyarakat adat di desa itu. Jika belum mampu memperbaiki rumah adat
Besemah yang sudah berusia tua, maka anak cucu dan kerabat yang punya
rumah tua tersebut diimbau untuk tidak merusaknya,” kata Alfarenzi (35),
pemuda asli Besemah yang ditemui di Pagar Alam baru-baru ini.
Dia
mengakui, seiring perjalanan waktu dan kadang-kadang terpaksa berdalih
karena alasan kesulitan ekonomi, sejak sekitar satu dasawarsa belakangan
memang ada ahli waris pemilik rumah adat di Tanah Besemah yang nekat
menjual bagian-bagian tertentu dari rumah tua tersebut. Apalagi,
iming-iming yang ditawarkan para kolektor barang antik uang jutaan
rupiah yang bagi segelintir masyarakat desa yang hidup di tengah belitan
ekonomi, nilainya sungguh sangat luar biasa.
“Seringkali yang
dilego itu bukan rumah utuh, tetapi bagian-bagian tertentu. Misalnya,
daun pintu atau papan dinding rumah adat yang berukir khas. Sadar akan
ancaman kelestarian suatu tinggalan yang sangat berharga, maka kini
muncul inisiatif dari tetua desa Pelang Kenidai untuk memproteksi upaya
penghilangan budaya. Itulah sebetulnya makna dibalik tulisan peringatan
berbahasa Besemah tersebut,” ujar Alfarenzi.
Menurut Haji Mus
(70), seorang tetua Desa Pelang Kenidai, hampir sejak satu dasawarsa
belakangan ukiran khas Rumah Adat Besemah memang banyak diincar para
kolektor barang-barang antik. Mereka tidak saja datang dari dalam
negeri, akan tetapi juga ada orang asing yang tujuannya membawa bagian
rumah adat tua itu ke negaranya.

Bagian tertentu rumah adat
Besemah ini, kata Mus memang sudah sempat berpindah tangan. Ada yang
dibawa para kolektor ke Bali dan ada yang dijual ke luar negeri. Para
ahli waris rumah adat ini, jelas tergiur karena tawarannya jutaan
rupiah. Namun beruntung, melihat ancaman peninggalan budaya Besemah
tersebut pemerintah kota (Pemkot) Pagar Alam berinisiatif memproteksi,
dengan mengeluarkan larangan bagi para pemilik rumah adat menjual apa
saja yang melekat dengan rumah itu.
Konsekuensi larangan itu,
Pemkot Pagar Alam memberi kompensasi berupa bantuan untuk menopang
ekonomi keluarga ahli waris atau pemilik rumah adat tersebut. “Proteksi
ini sangat jitu dan mangkus. Sejak lima tahun belakangan, kami tidak
pernah mendengar lagi ada yang melego bagian rumah adat tersebut untuk
dijual. Walaupun beberapa kolektor barang-barang kuna dari luar masih
kerap mengincar ke sini,” kata Supratman, pejabat di Kantor Dinas
Pariwasata dan Seni Budaya, Kota Pagar Alam.
Menurut Nurwati
dan Sabir, dua ahli waris pemilik rumah adat Besemah di Pelang Kenidai
mengaku, pada saat ini masih ada orang-orang dari luar yang menawar
beberapa bagian bangunan rumah tua itu. Tetapi karena ada imbauan, warga
tidak ada lagi yang berani menjual walaupun tawaran uangnya
menggiurkan, di atas Rp 5 juta untuk selembar papan atau daun pintu
berukir khas Besemah.
“Dulu jangankan tawaran segitu, ditawar
ratusan ribu saja sudah ada yang membongkar. Sebetulnya ini karena
ketidaktahuan saja dan juga karena terdesak butuh uang. Alasannya
sederhana, yang dibeli pendatang cuma selembar papan bukan rumah utuh
sehingga pemilik masih bisa berteduh. Namun, setelah diyakini pemerintah
daun pintu berukir itu nilainya tidak bisa ditakar uang para ahli waris
rumah adat ini akhirnya sadar dan kini tidak ada lagi yang mau jual,”
ucapnya.
Desa Pelang
Kenidai di wilayah Kecamatan Dempo Tengah, Kota Pagar Alam, berhawa
sangat sejuk di kaki Gunung Dempo. Salah satu perkampungan tradisional
yang terletak sekitar 298 km arah barat Kota Palembang ini, sehari-hari
tampak tenang dan damai. Masyarakat adat di sini hidup dari hasil panen
tanaman kopi, karet dan kemiri. Di tengah kedamaian dan keramah-tamahan
masyarakat adat Besemah inilah sekarang, lebih 100 unit rumah adat yang
usianya hampir dua abad bertahan digempur iming-iming para kolektor
benda antik.
Kenapa jadi incaran? Itu tidak lepas dari berbagai
keunikannya. Rumah adat Besemah atau dalam bahasa setempat disebut Baghi
tua di Pelang Kenidai, seperti diakui Haji Mus, memang sangat khas
tidak saja dari segi usia. Keunikan itu utamanya terletak pada
konstruksi dan ukiran.
Konstruksi rumah adat Besemah
dibangun dengan sistem bongkar pasang (knock down) menggunakan pasak
atau disebut Shaco. Antara satu tiang dengan sisi yang lain, disambung
tanpa paku dan hanya dengan pasak dari bambu tua atau kayu yang sangat
keras. Tidak jelas alasan konstruksi ini dulunya dipakai para tetua
setempat. Apakah waktu itu karena paku besi sulit atau alasan lain.
Namun
konstruksi pasak ini punya kelebihan, sangat lentur. Jika terjadi
guncangan misalnya karena gempa atau angin, bangunan rumah tidak kaku.
Bangunan seperti ini tidak mudah patah atau roboh, karena kelenturan
sambungan antara satu bagian dengan bagian lain. “Filosofinya, tetua
dahulu kalau membangun rumah harus memanfaatkan yang ada di alam
sekitar. Jika dikatakan untuk antisipasi gempa, bisa jadi ada benarnya.
Buktinya, berapa pun guncangan gempa bangunan rumah adat Besemah ini
sejak dulu tidak ada yang bergeser sedikit pun,” cerita Haji Mus.
Ukiran Bebulan
Dari
segi ukiran, rumah adat Besemah juga unik. Mirip dengan ukiran rumah
adat Minangkabau di Sumatera Barat, ukiran rumah Baghi Besemah juga
mengambil tema dari alam. Hanya saja, kalau di Minangkabau pola ukirnya
lebih rumit dan ramai terdapat di semua bagian rumah, ukiran rumah adat
Besemah tampak lebih simpel, sederhana dan hanya di bagian tertentu
saja.
Menurut Supratman, ukiran rumah adat Besemah ada di sudut
dan dinding depan, sebelah kanan rumah. Ukiran berbentuk bulat yang
disebut masyarakat Besemah “bebulan” yang terdapat di dinding depan atau
bagian daun pintu, dimaknai sebagai simbol bulan yang mencerminkan
kehidupan rumah tangga pemilik rumah yang tenteram dan damai. Ukiran
“bebulan” berupa bunga teratai yang sedang mekar, memiliki diameter
sekitar 50 centimeter. Di tengah “bebulan” ada sebuah lobang yang
bermakna satu tujuan.
“Tetapi, lobang ini sebetulnya juga
berarti lain. Karena rumah adat Besemah tidak berjendela di bagian
depan, lobang ini digunakan penghuni rumah untuk mengintip tamu yang
datang. Ya, kegunaannya mirip lobang kecil di pintu kamar hotel,” kata
dia.
Sedangkan ukiran di sudut dinding rumah adat Besemah, berupa
tumpal-tumpal serta ukiran tanaman bersulur. Ukiran yang memanjang ke
atas dan meliuk-liuk melintang membelah dinding rumah, merupakan simbol
keunikan dan kecerdasan pengukir masa lalu dalam bidang seni pahat.
“Ukiran
rumah adat Besemah benar-benar unik. Konon pengukirnya dulu tidak
menggunakan alat ukir canggih seperti sekarang. Hanya dipahat dengan
pisau kecil yang disebut Gubang,” ujar Supratman menambahkan.
Makna
ukiran rumah adat Besemah, kata Supratman, juga menunjukkan sebuah
simbol status dalam masyarakat adat setempat. Sebab, rumah ini terdiri
dua versi yakni berukir dan tidak berukir.
Rumah adat berukir
disebut rumah Tatahan, lazimnya milik orang yang dituakan atau sesepuh
adat. Misalnya, “Juarai Tue” atau mirip Kepala Desa sekarang. Sedangkan
rumah adat tidak berukir disebut rumah Gilapan, pemiliknya masyarakat
umum.
Nilai-nilai budaya dan peninggalan tradisi masyarakat adat
di Indonesia sepertinya, kini memang harus diproteksi. Jika tidak, satu
persatu bakal hilang karena masyarakat adat yang dibelit kesulitan
ekonomi, akan gampang terbujuk untuk melego apa saja yang mereka
miliki.
Buktinya, daun pintu rumah adat Besemah di Pagar Alam yang berusia 200 tahun pun kini masih diincar dan digempur para kolektor.
numpang nyadur sndi blog http://zulkaniahmad.blogspot.co.id
by : ahmad zulkani
(dimuat di Harian Berita Pagi, Palembang, Rabu 18 Maret 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar